Selasa, 01 Desember 2015

tugas ekonomi politik media

TUGAS EKONOMI POLITIK MEDIA




MOHAMMAD FAUZI
B 501 13 093



Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Tadulako



A.    Ekonomi Politik Media
Studi ekonomi politik media adalah kajian yang memfokuskan perhatiannya pada penyebab dan konsekuensi ekonomi, keuangan dan politik terhadap budaya (Babe, 2009:8). Ekonomi politik media sebenarnya adalah pertarungan bagaimana aspek-aspek ekonomi dan politik telah memengaruhi produksi dan reproduksi budaya sebagai komoditas media massa.
Pendekatan ekonomi politik media lebih melihat bagaimana konsepsi materialisme didistribusikan dan disirkulasikan dalam praktik pelaksanaan produksi kultural.
Babe (2009) juga menuliskan bahwa akar dari ekonomi politik media bermula dari pandangan-pandangan dan konsepsi yang lahir dari para pakar cultural studies (Studi Budaya) seperti Theodore Adorno, Richard Hogart, Raymond William dan E.P Thompson yang memperkenalkan teori tentang “Cultural Materialism”. Cultural Materialism adalah upaya para penganut teor kritis untuk menjelaskan bahwa culture atau budaya merupakan hasil produksi dan reproduksi yang disebabkan atau menjadi konsekuensi logika ekonomik (materialism). Budaya telah menjadi komoditas yang dihasilkan dengan kepentingan tertentu pembuatnya untuk kepentingan memperoleh keuntungan finansial semata.
B.     Pendekatan Ekonomi Politik
Pendekatan ekonomi politik merupakan sebuah kajian yang diidentifikasi sebagai kelompok pendekatan kritis (McQuail, 2000:82). Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika media, dan ideologi media itu sendiri.
Dewasa ini ini setidaknya terdapat tiga konsep penting yang ditawarkan Mosco untuk mengaplikasian pendekatan ekonomi politik pada kajian komunikasi : komodifikasi (commodification); spasialisasi (spatialization); dan strukturasi (structuration).
·         Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Nilai tambah produksi berita akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan individual.
·         Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
·         Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996).
Contoh Kasus:
dinamika pers Indonesia pasca Orde Baru. Penggunaan pendekatan kritis studi media
mengandung konsekuensi bahwa kajian terhadap pers dan perubahan
yang terjadi pada dirinya mesti dilakukan secara holistis. Pers harus
dffiat sebagai entitas yang hidup dan berkembang dalam suatu multi-
Iayered structure- struktur yang bertingkat dan saling mempengaruhi.
Stmktur organisasi media, struktur industri media, struktui ekonomipolitik
Orde Baru, dan struktur kapitalisme global secara bergantian
mempengaruhi eksistensi pers beserta produk-produk dan berbagai
kecenderungan yang ditunjukkannya.
Pada titik ini, pers pertama-tama harus diletakkan dalam
totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses
ekonorni, sosial dan politik yang berlangsung dilam *iryarakat. Ini
berdasarkan asumsi bahwa teks isi media dan bindakan jurnalis dalam
memproduksinya tidak terlepas dari konteks proses-proses sosial
memproduksi dan mengonsumsi teks, baik pada jenjang organisasi,
industri dan masyarakat.

Jika kita menggunakan analisis instrumentalis, maka yang
didapatkan adalah gambaran pers yang menjadi instrumen dominasi
Penguasa dan pernilik modal yang ternyata belum banyak mengalami
perubahan dari era orde Baru. Analisis semacam ini memang mampu
mengungkapkan berbagai sisi kebenaran realitas pers dalam era Orde
BarL, namun tidak akan pernah komprehensif. Selain itu, akan sulit
per1u menjelaskan bagaimana dinamika atau perubahan yang
berlangsung dalam tubuh pers era orde Baru ke era berikutnya.
Memang benar bahwa rejim Orde Baru mendominasi akses
media, merniliki legalitas mengontrol media serta monopoli pemberian
lisensi, dan di sisi lain para pemilik modal di sektor media memiliki
kekuasaan terhadap para pekeqanya. Namun penguasa atau pemilik
modal, seperti hahrya di industri media kapitalis pada umumnya, tidak
selalu mampu sepenuhnya menggunakan media sebagai instrumen
kekuasaan mereka karena struktur tempat mereka berada memuat
sejumlah kontradiksi. Walaupun penguasa memiliki sumber daya
rekayasa informasi untuk menciptakan citra tertentu bagi suatu
kelompok, semua itu dilakukan dalam struktur yang memuat kendalakendala
bagi optimalisasi efektivitas komunikasi.

]ika analisis instrumentalis semata kurang komprehensif untuk
membedah dinamika pers pasca Orde Baru, bagaimana dengan analisis
strukturalis dan analisis konstruktivisme? Dinamika pers Orde Baru
dan sesudahnya memang perlu pula dipahami sebagai bagian dari
proses yang berlangsug dutum struktut positif otoritarian dan ekonomi
kapitalis yang secara spesifik tercipta selama era Orde Baru. Stmktur
ekonorni-politik Orde Baru itu sendiri juga perlu diamati sebagai suatu
entitas yang telah terintegrasi dalam jalinan struktur yang lebih makro,
antara lain struktur finansial kapitalisme global.

A.    Teori Ekonomi Politik Media
Teori ekonomi media merupakan sebuah pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan atau ideologi media. Teori ini fokus ideologi medianya pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media. Menurut tinjauan ini, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik.

            Vincent Moscow mengatakan bahwa ekonomi politik dipandang sebagai studi mengenai hubungan sosial, khususnya hubungan kekuatan, yang biasanya berbentuk produksi, distribusi, dan konsumsi dari sumber. Hubungan ini timbul dalam hubungan timbal balik antara sumber daya alam proses produksi komunikasi seperti surat kabar, buku, video, film, dan khalayak adalah yang utama.
Sedangkan kegunaan ekonomi politik dalam komunikasi adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan signifikansi dari benuk produksi, distribusi, dan pertukaran komoditas komunikasi serta peraturan yang mengatur struktur media tersebut, khususnya oleh negara. Gaya produksi media dan hubungan ekonomi kemudian menjadi dasar atau elemen penentu dalam pikiran kita.

Sumber :

B.     Pendekatan Ekonomi Politik Media
Pendekatan kritis  yakni  ekonomi  politik  media  dan studi  kebudayaan  mempunyai  kesamaan, kelebihan dan kekurangan. Dengan memperhatikan  hal-hal  tersebut  kedua pendekatan  dapat  saling  belajar  untuk memperkaya  pendekatan  masing-masing.
Bagi  pendekatan  ekonomi  politik media yang cenderung melihat dari satu sisi yakni produksi dan distribusi media, pendekatannya dapat diperbaiki dengan menambah  satu  sisi  yakni  konsumsi oleh  khalayak  dengan  memberi  perhatian  pada  kebebasan  khalayak   dalam menginterpretasi. Sedangkan bagi studi kebudayaan  adalah  dengan  memberi perhatian  pada  aspek  ekonomi-politik dan  metodologi  empirisme  dalam  etnografi. Dengan demikian, kajian terhadap media  massa  perlu  mengembangkan pendekatan multiperspektif yang mencakup  beragam  artifak  dengan  mengumpulkan informasi secara mendalam tiga dimensi yakni (1) produksi dan ekonomi politis  dari  budaya  (2)  analisis  tekstual dan  kritik  terhadap  artifaknya  dan  (3) kajian  mengenai  penerimaan  khalayak dan  penggunaan  produk  budaya/media secara  polisemi  dengan  metode pengumpulan data empiris. Di  dalam era  informa si,  peran  media  massa  dalam  kehidupan  manusia menjadi sangat sentral. Sehingga kajian mengenai  peran  media  dalam kehidupan  manusia  menjadi  penting.
Berbagai  pendekatan  terhadap penelitian  media  yakni  pendekatan yang sifatnya fungsionalis, pluralis dan kritis.   Dalam  pendekatan  kritis  yakni yang  diwakili  dengan  terminologi pendekatan  Marxisme  terdapat   tiga kelompok  pendekatan  yakni  pendekatan  strukturalist,  ekonomi-politik dan pendekatan kulturalis. Seperti  halnya  dalam  pendekatan ekonomi  politik,  dalam  studi  kebudayaan  terdapat  berbagai  varian  yang antara  lain  ditunjukkan  dengan pengelompokkan  berikut:  dekonstruksi,  rekonstruksi  dan  strukturalis. Pengelompokan  lainnya  (Golding  dan Murdock,  1996)  adalah   analisis  teks, analisis  relasional  dan  supremasi khalayak. Secara  historis,  kedua  pendekatan tersebut  mempunyai  kesamaan  yakni mendapat  pengaruh  dari  Marxis, namun  demikian  dalam  perkembangannya  studi  kebudayaan  meninggalkan  ekonomi  politik media, sehingga  sulit  dicari  persinggungan  di antara  keduanya.  Sementara  itu, pendekatan  ekonomi–politik  menunjukkan  sikap  keterbukaannya  untuk “mendekati” studi kebudayaan yang ditunjukkan  oleh  telaah  Mosco  (1996) melalui integral epistemology-nya. Salah  satu  yang  diungkapkannya  adalah bahwa  ekonomi-politik  merupakan  salah satu entry point untuk mempelajari studi  kebijakan  dan  studi  kebudayaan atau ekonomi politik media.
Sumber:
Weiss, Shannon  dan  Karla  Weley. (2001).  Postmodernism  and  Its Critics. http://www.as.ua.edu-/ant/Faculty

C.    Media Sebagai Ruang Publik
Ruang publik di media Indonesia mulai dapat dirasakan masyarakat pada akhir masa Orde Baru. Hal ditandai dengan lahirnya masa Reformasi yang memberikan kebebasan kepada publik sesuai UUD 1945. Pada masa Orde Baru, sistem komunikasi Indonesia bersifat tertutup sehingga arus informasi bersifat satu arah (dari atas ke bawah) dan tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan feed back.  Setelah Orde Baru digantikan oleh Reformasi, sistem komunikasi beralih ke sistem yang lebih terbuka sehingga publik mempunyai kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya tanpa takut pada ancaman pemerintah.
Media massa sebagai pilar keempat dalam sistem negara juga mulai membuka kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi publik melalui media. Sejak itu, nuansa kebebasan berinformasi semakin dirasakan oleh publik untuk berkontribusi dalam pembangunan negara melalui media.
Sulit rasanya bagi media massa untuk menciptakan sebuah ruang publik yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik dan bebas dari bias kepentingan. Hal ini dikarenakan media massa sangat bergantung pada para pemilik modal dan kecenderungan pemilik modal kepada institusi atau golongan tertentu.
Ruang publik dalam media massa juga hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Publik tidak mempunyai akses yang sama untuk dapat turut serta urun rembug dalam diskusi publik. Dengan alasan keterbatasan space atau durasi, public sphere yang diselenggarakan oleh media massa sering kurang maksimal karena space-nya sudah dikavling oleh pengiklan atau program media itu sendiri

·         Contoh yang sering kita jumpai
Banyak contoh yang dapat ditemukan dikehidupan masyarakat. Di tahun 2009, muncul gerakan bertajuk Dukungan Bagi Ibu Prita Mulyasari yaitu “Gerakan Koin Peduli Prita”, Surat Keluhan Melalui Internet Yang Dipenjara, yang di dukung lebih dari 5900 anggota grup. Ada pula gerakan bertajuk “Gerakan 1.000.000 Facebooker Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto”, yang menembus angka satu juta dukungan. Dan gerakan sosial untuk membantu biaya operasi hati seorang balita yaitu “Gerakan Koin Hati untuk Karen”. Di luar negeri, jatuhnya Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang sudah berkuasa selama lebih dari 23 tahun dan Presiden Mesir Hosni Mobarak yang memimpin negeri selama lebih dari 30 tahun disinyalir berawal dari gerakan sosial melalui jejaring sosial, diantaranya Facebook.[1]

Sumber:

D.    Industri dan Kebijakan Media
Sejak pemerintahan Soekarno hingga Soeharto, dan sekarang di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan media tak pernah dapat dipisahkan dari rezim yang  berkuasa. Kebijakan media memang selalu digunakan sebagai alat politik: pertama sebagai alat propaganda (pada era Soekarno), lalu sebagai alat kontrol (terutama pada masa Soeharto), dan sekarang digunakan untuk membangun citra pemerintah (pada periode Yudhoyono).  Reformasi 1998 membawa perubahan besar dalam lanskap media di Indonesia dan  menghadirkan sejumlah tantangan baru dalam penetapan regulasinya.
Perkembangan sektor-sektor (dan industri) media tidak saja ditentukan oleh kemajuan teknologi (misalnya inovasi teknologi media), namun, yang lebih penting juga dipengaruhi oleh dinamika pasar (seperti terciptanya persediaan dan permintaan dalam konten dan infrastruktur media), serta kepentingan politik (misalnya kekuasaan).
Dalam kasus Indonesia, hal ini sangat jelas terlihat. Karena media merepresentasikan dan merupakan perwujudan kekuasaan, kepemilikan media dan kebijakan media sangatlah penting. Prinsip ‘mengikuti ke mana uang mengalir’ mampu mengungkapkan peranan kepentingan bisnis dalam perkembangan media, dan bagaimana realpolitik mempengaruhi perkembangan itu, dan semuanya terefleksi dalam kebijakan media di Indonesia. Ekonomi politik berada dalam inti pemahaman mengenai kebijakan media di Indonesia, sehingga perspektif inilah yang kami gunakan dalam penelitian ini.
Sumber:
http://kalamkata.org/ebook/indonesian/cipg-kebijakan-media.pdf

E.     Trend Industri Media
·         Konglomerasi Media
Tren ke arah konglomerasi melibatkan proses merger, akuisisi dan pembelian saham (buyout) yang mengonsolidasikan kepemilikan media ke semakin sedikit perusahaan. Perusahaan induk yang berkantong tebal masih bisa menerima unit media yang kesulitan keuangan, seperti stasiun radio, dalam periode tertentu, Tetapi suatu saat perusahaan induk ini ingin investasinya menguntungkan dan karena itu mereka menekan unit media rado agar menghasilkaan lebih banyak profit. Hal ini tidak akan terlalu buruk jika orang yang menjalankan stasiun radio itu mencintai radio dan memiliki komitmen untuk melayani publk. Tetapi proses konglomerasi jarang yang seperti itu. Perusahaan induk cenderung mengganti orang-orang media dengan manajer lini yang berambisi meniti karier, yang motivasnnya adalah tampil baik di mata atasannya di tempat jauh yang sedang mendapat tekanan untuk meraup lebih banyak laba. Misalnya di Radio, pakar manajemnlah bukan orang radio yang akhirnya menjalankan stasiun tu dan mutu isi media itu akan turun.
            Konglomerasi media merupakan kekuatan dari perusahaan yang berskala besar dalam meiliki banyak dan jenis massa sebaga bagian bisnisnya. Tentu saja konglomerasi media ni sangat tidak sehat dalam iklim demokrasi mengingat kekuatan media yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang mengkonsumsi informasi dari meda-media tersebut.

·         Contoh Kasus konglomerasi media:
Pada tahun 2006, arus berita mengenai kasus NCD (Negotiable Certificate of Deposit) fiktif terkait Hary Tanoesoedibjo, demikian deras dibicarakan di lintas media, baik cetak maupun elektronik, berkaitan dengan kemungkinan tindak pidana korupsi yang bisa menimbulkan kerugian negara. Bila melihat pemberitaan media massa nasional umumnya menempatkan pemilik MNC tersebut sebagai orang yang jahat (pihak negatif). Tetapi pemberitaan di media-media yang dimilikinya terlihat berlawanan dengan berita yang umumnya ada, diantaranya pemberitaan di RCTI, Trijaya FM, dan Trust. Dalam pemberitaan di RCTI, kasus NCD fiktif Hary Tanoe muncul secara khusus dalam Dialog Khusus pada tanggal 20 Februari 2006. Dalam tayangan berjudul “kontroversi NCD Bodong” terlihat ada upaya pemberitaan yang membela Hary Tanoe. Sementara dari pihak redaksi yang diwakili Arief Suditomo mengatakan, “sebenarnya, penonton tidak tertarik pada isu ini, namun saya tertantang untuk menampilkan acara ini. Banyak sekali produser yang tidak mau menampilkan karena rating-nya turun”. Dari penyataan tersebut dapat kita cermati bahwa para pelaku media (pekerja), redaksi melakukan pilihan yang cukup berat. Bukan masalah terhadap rating atau tantangan untuk menampilkan acara ini, tetapi lebih kepada bagaimana redaksi RCTI bekerja di bawah kekuasaan pemilik media yang mau tidak mau harus dapat mengakomodasikan keinginan atau permintaan sang pemilik.

Dalam pemberitaan di Trijaya FM, pembelaan yang dilakukan untuk membela pemiliknya ini tersaji dalam acara rutin diaolg interaktif Trijaya FM dalam acara Jakarta First Channel. Selanjutnya media Trust mengeluarkan dua buah artikel. Judulnya “Ini Tinggal Urusan Bayar atau Tidak Bayar” dan “Ada Apa dengan BI?” Sampul majalah berita ekonomi dan bisnis edisi 19 Tahun IV, 20-26 Februari 2006 ini berjudul “Kisah di Balik NCD Unibank”. Sementara dalam artikel online, Trust versi online mengeluarkan artikel berjudul “Mengikuti Jejak Lama Sukanto Tanoto, Aktor Utama Kasus NCD” pada tanggal 9 April 2006. Dari ketiga artikel itu terlihat sekali bahwa artikel tersebut berpihak kepada Hary Tanoe dan lebih mentikberatkan pihak negatif ke pihak yang lain. Dan muncul kesan mengalihkan fokus yang sangat menunjuk Hary Tanoesoedibjo. Dari semua pemberitaan tersebut memang secara jelas terlihat ada hubungan antar pemilik media, yaitu Hary Tanoe dengan media-medianya untuk menciptakan pemberitaan yang berpihak kepada Hary Tanoe. Selanjutnya apakah pemberitaan-pemberitaan tersebut dapat dikatakan monopoli
dan mempengaruh pandanganpublik.                                                                                                    .         
Hal ini dapat dilihat dari media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa. Contohnya adalah sudah banyak kajian yang menyatakan bahwa Metro TV milik Surya Paloh lebih banyak memihak pada kekuatan politik tertentu saja, yaitu Partai Golkar, atau misalnya keberpihakan TVOne terhadap kepentingan politik dan ekonomi PT Lapindo, sehingga TVOne jarang mengungkit pemberitaan mengenai kasus Lumpur Sidoarjo dan apabila pemberitaan itu ada, TVOne cenderungan menggunakan kata Lumpur Sidoarjo ketimbang menggunakan kata Lumpur Lapindo. Hal itu menujukkan adanya kepentingan penguasa terhadap isi media. Penyebaran ideologi itu melalui proses hegemoni, yaitu suatu proses dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling-classvalues yang tanpa mereka sadari telah tertanamkan dalam diri mereka.                       Reese dan Shoemaker mengatakan bahwa kepemilikan media dapat mempengaruhi         tayangan karena terjadinya perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja . Jadi kepemilikan media maka akan berakibat dengan berubahnya kebijakan dan tujuan media itu sendiri. Pemilik medialah yang akhirnya menentukan sifat dari media. Pemilik bebrapa media yang berbeda-beda jenisnya, seperti misalnya tidak hanya memiliki stasiun televisi saja, tetapi juga memiliki berbagai bentuk media massa mampu mempengaruhi khalayak lebih kuat dengan menggunakan berbagai media miliknya.Pengaruh konsentrasi ini begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Keberpihakan media terhadap kepentingan sejumlah elit penguasa itu secara tidak sadar mampu mempengaruhi kognisi khalayak. Padahal jika mengacu pada konsep Habermas, media massa merupakan public sphere yang seharusnya dijaga dari berbagai kepentingan.

Sumber:

F.     Industri Media Global
Perkembangan dunia pertelivisian di Indonesia tersebut tidak lepas dari  perkembangan  media  global.  Seperti  yang  pernah  dibahas  dalam perkuliahan  Komunikasi  Internasional,  bahwa  perkembangan  media global  akan  membawa  pengaruh  yang  tidak  kecil  terhadap  media nasional  suatu  negara.  Hal  ini  tentu  menjadi  sebuah  keniscayaan mengingat  media  nasional  juga  merupakan  bagian  dari  media  global tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali kiblat dari media  global  ini  adalah  negara-negara  barat  yang  menjadi  pencetus pengembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Jika  media  global  memiliki  nilai  dan pengaruh dari negara barat yang dominan maka tak dapat  dihindari pula pengaruhnya terhadap pemirsanya. Globalisasi media yang semakin memudahkan insersi nilainilai  pembuatnya  –negara  barat-  menjadi  fokus  dalam  makalah  ini.
Dengan  semakin  mudahnya  nilai  tersebut  untuk  masuk kedalam masyarakat dunia  termasuk  masyarakat  lokal  di  Indonesia,  maka pengaruhnya akan pula dirasakan oleh mereka. Padahal, nilai-nilai dan ide  merupakan  suatu  yang  vital  dalam  pembentukan  identitas suatu  masyarakat. Dengan masuknya nilai-nilai barat maka identitas lokal pun  pasti  akan  terpengaruh.  Pengaruh  tersebut  antara  lain  adalah identifikasi  diri  mereka  menjadi  bagian  dari  masyarakat  dunia  seperti yang pernah diungkapkan oleh Mc.Luhan melalui Global Village-nya 
Dalam  tulisannya  yang  membahas  mengenai  hiperglobalisasi,  Ritzer pernah  menegaskan  bahwa  pola-pola  kehidupan  sosial  dan  kultural sehari-hari  masyarakat  sekarang  memperlihatkan  adanya  pengaruh yang  amat kuat dari pola  kehidupan  masyarakat  global  dan  budaya global  (Piliang  n.d.).  Menurutnya pengaruh tersebut datang melalui berbagai  teknologi,  termasuk  teknologi  televisi  beserta  produknya (tontonan, hiburan,  dan  semacamnya). Melalui  pintu  inilah budaya global  melancarkan  ”gelombang  serangan”  terhadap  masyarakat etnis dan kultur tertentu(Piliang n.d.). Hal-hal inilah yang menjadi ancaman bagi  eksistensi  beragam bentuk kebiasaan, nilai, identitas  dari  budaya lokal.
Sebagai  masyarakat yang  telah memiliki  identitas  sendiri  dengan  nilainilai  tersendiri,  tentunya  hal  di  atas  dapat  dikatakan  sebagai  masalah. Karena dengan semakin masuknya nilai asing melalui globalisasi media, mau  tidak  mau  akan  pula  meminggirkan  nilai  lokal  hingga  merubah identitas  asli  lokal.  Sebut  saja  penggunaan  bahasa  Inggris  sebagai bahasa yang dianggap moderen, dan lain sebagainya.
Menghadapi  kenyataan  di  atas  maka  muncullah  bentuk-bentuk  siaran regional. Salah satu yang telah menggejala adalah munculnya stasiun TV lokal  seperti  JTV,  Bali  TV,  dan  lain-lain.  Seiring  dengan  hadirnya perspektif  teori  baru  dalam  media  dan  masyarakat,  maka  komunikasi tidak  lagi  masif  dan  berjalan  searah.  Menurut  perspektif  postmodern akan  selalu  ada  jalan  lain  untuk  keluar  dari  masifikasi  dan  sentralisasi masyarakat (Mc.Quail 2000).

G.    Femomena Media Baru
Perkembangan media baru yang juga merangkumi teknologi maklumat dan komunikasi (ICT) dalam era globalisasi dunia hari ini yang membawa pelbagai cabaran baru dalam bidang pendidikan. penggunaan media baru terutamanya pada masa kini telah meningkat dengan ketara dan fenomena ini boleh dilihat dari segi penambahan jumlah pengguna di seluruh dunia.  Pendekatan Digital Humanities yang mengabungkan aspek teknikal (ICT) dengan displin kemanusian termasuk Sejarah, menggunakan teknologi pendigitan dalam bidang pengajaran dan pembelajaran, penyelidikan dan penerbitan. Penggunaan teknologi pendigitalan melalui laman web dan rangkaian sosial popular seperti Facebook, Twitter, blogspot dan Pinterest mampu menyalurkan maklumat sejarah secara lebih interaktif, pantas dan menarik. Disamping itu maklumat mudah dicapai serta mempunyai ruang yang lebih fleksibel dapat meningkatkan usaha penyediaan dan penggunaan bahan bukti.
 
         Media baru pula ditakrifkan sebagai 'teknologi informasi tanpa sempadan'. Media baru bermaksud cara mengajar baru yang menggunakan media jaringan komputer dan internet. Media baru adalah istilah yang dimaksudkan untuk menerangkan kemunculan digital, komputer atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Sebahagian besar teknologi yang digambarkan sebagai 'media baru' adalah digital, bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Media baru juga lebih dikenali sebagai 'teknologi informasi tanpa sempadan'. Media baru kini sedang membina empayarnya tersendiri dan berkeupayaan tinggi menandingi media cetak serta media elektronik yang lain. inilah revolusi media di era langit terbuka atau lebih dikenali globalisai. Media baru yang kian meluas dan sedang menakluki dunia dengan informasi tanpa sempadan kini berkemampuan membentuk minda masyarakat.

         Kemunculan media baru memberi impak yang besar terhadap kehidupan manusia. Media baru secara langsung telah mengubah pola kehidupan masyarakat, budaya, cara berfikir dan hampir segala aspek dalam kehidupan manusia. Perkembangan media ini mendapat tanggapan yang pelbagai, ada yang positif dan ada yang negatif. Media baru adalah media yang memiliki 3 sifat utama iaitu integrasi, interaktif dan digital.
·         Contoh Kasus:
pemilihan Kepala Daerah DKI beberapa tahun lalu. Banyak teknologi media baru yang ikut mengkonstruksi realitas yang terjadi di masyarakat, entah dengan tujuan mengangkat salah satu calon ataupun sebaliknya. menjatuhkancalonlain.  
Banyak akun Twitter dari para calon DKI 1 atau akun Twitter pendukung salah satu kandidat khusus dibuat untuk memoles citra kandidatnya. Tweet yang diterbitkan tersebut sengaja mengkonstruksi bahwa calon yang didukung merakyat, mempunyai visi yang jelas, bertanggung jawab, dan layak dipilih.

Sumber:
http://komunikasi.us/index.php/course/18-teknologi-dan-media-baru/3621-konstruksi-sosial-teknologi-di-dalam-penggunaan-media-baru




1 komentar:

  1. The Wizard of Oz Casino Site Review, Bonuses, Banking
    Read a complete The Wizard of Oz Casino review, including luckyclub.live casino games, bonuses and offers. Find the top online casinos that are on the  Rating: 5 · ‎Review by LuckyClub.live

    BalasHapus