TUGAS EKONOMI POLITIK MEDIA

MOHAMMAD FAUZI
B 501 13 093
Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Tadulako
A.   
Ekonomi Politik
Media
Studi
ekonomi politik media adalah kajian yang memfokuskan perhatiannya pada penyebab
dan konsekuensi ekonomi, keuangan dan politik terhadap budaya (Babe, 2009:8).
Ekonomi politik media sebenarnya adalah pertarungan bagaimana aspek-aspek
ekonomi dan politik telah memengaruhi produksi dan reproduksi budaya sebagai
komoditas media massa. 
Pendekatan
ekonomi politik media lebih melihat bagaimana konsepsi materialisme
didistribusikan dan disirkulasikan dalam praktik pelaksanaan produksi kultural.
Babe
(2009) juga menuliskan bahwa akar dari ekonomi politik media bermula dari
pandangan-pandangan dan konsepsi yang lahir dari para pakar cultural studies
(Studi Budaya) seperti Theodore Adorno, Richard Hogart, Raymond William dan E.P
Thompson yang memperkenalkan teori tentang “Cultural Materialism”. Cultural
Materialism adalah upaya para penganut teor kritis untuk menjelaskan bahwa
culture atau budaya merupakan hasil produksi dan reproduksi yang disebabkan
atau menjadi konsekuensi logika ekonomik (materialism). Budaya telah menjadi
komoditas yang dihasilkan dengan kepentingan tertentu pembuatnya untuk
kepentingan memperoleh keuntungan finansial semata.
B.    
Pendekatan
Ekonomi Politik
Pendekatan
ekonomi politik merupakan sebuah kajian yang diidentifikasi sebagai kelompok
pendekatan kritis (McQuail, 2000:82). Pendekatan ekonomi politik memfokuskan
pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika
media, dan ideologi media itu sendiri.
Dewasa ini
ini setidaknya terdapat tiga konsep penting yang ditawarkan Mosco untuk
mengaplikasian pendekatan ekonomi politik pada kajian komunikasi : komodifikasi
(commodification); spasialisasi (spatialization); dan
strukturasi (structuration).
·        
Komodifikasi berkaitan dengan proses
transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang
berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna
menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media,
khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya
mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Nilai tambah produksi berita akan sangat
ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan
individual.
·        
Spasialisasi berhubungan dengan proses
pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan
waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan
proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya
badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat
horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media
tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang
bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak
perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi,
terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
·        
Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara
gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur.
Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur
sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996).
Contoh Kasus: 
dinamika
pers Indonesia pasca Orde Baru. Penggunaan pendekatan kritis studi media
mengandung konsekuensi
bahwa kajian terhadap pers dan perubahan
yang terjadi
pada dirinya mesti dilakukan secara holistis. Pers harus
dffiat sebagai entitas
yang hidup dan berkembang dalam suatu multi-
Iayered structure-
struktur yang bertingkat dan saling mempengaruhi.
Stmktur organisasi
media, struktur industri media, struktui ekonomipolitik
Orde Baru, dan struktur
kapitalisme global secara bergantian
mempengaruhi eksistensi
pers beserta produk-produk dan berbagai
kecenderungan yang
ditunjukkannya.
Pada titik ini, pers
pertama-tama harus diletakkan dalam
totalitas sosial
yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses
ekonorni, sosial
dan politik yang berlangsung dilam *iryarakat. Ini
berdasarkan asumsi
bahwa teks isi media dan bindakan jurnalis dalam
memproduksinya tidak
terlepas dari konteks proses-proses sosial
memproduksi dan mengonsumsi
teks, baik pada jenjang organisasi,
industri dan masyarakat.
Jika
kita menggunakan analisis instrumentalis, maka yang
didapatkan adalah
gambaran pers yang menjadi instrumen dominasi
Penguasa dan pernilik
modal yang ternyata belum banyak mengalami
perubahan dari era
orde Baru. Analisis semacam ini memang mampu
mengungkapkan berbagai
sisi kebenaran realitas pers dalam era Orde
BarL, namun
tidak akan pernah komprehensif. Selain itu, akan sulit
per1u menjelaskan
bagaimana dinamika atau perubahan yang
berlangsung dalam
tubuh pers era orde Baru ke era berikutnya.
Memang benar
bahwa rejim Orde Baru mendominasi akses
media, merniliki
legalitas mengontrol media serta monopoli pemberian
lisensi, dan di sisi
lain para pemilik modal di sektor media memiliki
kekuasaan terhadap
para pekeqanya. Namun penguasa atau pemilik
modal, seperti hahrya
di industri media kapitalis pada umumnya, tidak
selalu mampu sepenuhnya
menggunakan media sebagai instrumen
kekuasaan mereka
karena struktur tempat mereka berada memuat
sejumlah kontradiksi.
Walaupun penguasa memiliki sumber daya
rekayasa informasi
untuk menciptakan citra tertentu bagi suatu
kelompok, semua itu
dilakukan dalam struktur yang memuat kendalakendala
bagi
optimalisasi efektivitas komunikasi.
]ika
analisis instrumentalis semata kurang komprehensif untuk
membedah dinamika
pers pasca Orde Baru, bagaimana dengan analisis
strukturalis dan
analisis konstruktivisme? Dinamika pers Orde Baru
dan sesudahnya
memang perlu pula dipahami sebagai bagian dari
proses yang berlangsug
dutum struktut positif otoritarian dan ekonomi
kapitalis yang secara
spesifik tercipta selama era Orde Baru. Stmktur
ekonorni-politik
Orde Baru itu sendiri juga perlu diamati sebagai suatu
entitas yang
telah terintegrasi dalam jalinan struktur yang lebih makro,
antara
lain struktur finansial kapitalisme global.
A.   
Teori Ekonomi Politik Media 
Teori ekonomi media merupakan sebuah pendekatan yang
memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan atau
ideologi media. Teori ini fokus ideologi medianya pada kekuatan ekonomi dan
mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur
pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media. Menurut tinjauan ini,
institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga
bertalian erat dengan sistem politik.
Vincent Moscow mengatakan bahwa ekonomi politik dipandang sebagai studi mengenai hubungan sosial, khususnya hubungan kekuatan, yang biasanya berbentuk produksi, distribusi, dan konsumsi dari sumber. Hubungan ini timbul dalam hubungan timbal balik antara sumber daya alam proses produksi komunikasi seperti surat kabar, buku, video, film, dan khalayak adalah yang utama.
Sedangkan kegunaan ekonomi politik dalam komunikasi
adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan signifikansi dari benuk produksi,
distribusi, dan pertukaran komoditas komunikasi serta peraturan yang mengatur
struktur media tersebut, khususnya oleh negara. Gaya produksi media dan
hubungan ekonomi kemudian menjadi dasar atau elemen penentu dalam pikiran kita.
Sumber :
http://muhammadavid.blogspot.co.id/2014/02/teori-ekonomi-politik media.html#sthash.CoaAjwqD.dpuf
B.    
Pendekatan
Ekonomi Politik Media
Pendekatan
kritis  yakni  ekonomi 
politik  media  dan studi 
kebudayaan  mempunyai  kesamaan, kelebihan dan kekurangan. Dengan
memperhatikan  hal-hal  tersebut 
kedua pendekatan  dapat  saling 
belajar  untuk memperkaya  pendekatan 
masing-masing. 
Bagi  pendekatan 
ekonomi  politik media yang
cenderung melihat dari satu sisi yakni produksi dan distribusi media,
pendekatannya dapat diperbaiki dengan menambah 
satu  sisi  yakni 
konsumsi oleh  khalayak  dengan 
memberi  perhatian  pada 
kebebasan  khalayak   dalam menginterpretasi. Sedangkan bagi studi
kebudayaan  adalah  dengan 
memberi perhatian  pada  aspek 
ekonomi-politik dan 
metodologi  empirisme  dalam 
etnografi. Dengan demikian, kajian terhadap media  massa 
perlu  mengembangkan pendekatan
multiperspektif yang mencakup 
beragam  artifak  dengan 
mengumpulkan informasi secara mendalam tiga dimensi yakni (1) produksi
dan ekonomi politis  dari  budaya 
(2)  analisis  tekstual dan 
kritik  terhadap  artifaknya 
dan  (3) kajian  mengenai 
penerimaan  khalayak dan  penggunaan 
produk  budaya/media secara  polisemi 
dengan  metode pengumpulan data
empiris. Di  dalam era  informa si, 
peran  media  massa 
dalam  kehidupan  manusia menjadi sangat sentral. Sehingga
kajian mengenai  peran  media 
dalam kehidupan  manusia  menjadi 
penting.
Berbagai  pendekatan 
terhadap penelitian  media  yakni 
pendekatan yang sifatnya fungsionalis, pluralis dan kritis.   Dalam 
pendekatan  kritis  yakni yang 
diwakili  dengan  terminologi pendekatan  Marxisme 
terdapat   tiga kelompok  pendekatan 
yakni  pendekatan  strukturalist,  ekonomi-politik dan pendekatan kulturalis.
Seperti  halnya  dalam 
pendekatan ekonomi  politik,  dalam 
studi  kebudayaan  terdapat 
berbagai  varian  yang antara 
lain  ditunjukkan  dengan pengelompokkan  berikut: 
dekonstruksi,  rekonstruksi  dan 
strukturalis. Pengelompokan 
lainnya  (Golding  dan Murdock, 
1996)  adalah   analisis 
teks, analisis  relasional  dan 
supremasi khalayak. Secara 
historis,  kedua  pendekatan tersebut  mempunyai 
kesamaan  yakni mendapat  pengaruh 
dari  Marxis, namun  demikian 
dalam  perkembangannya  studi 
kebudayaan  meninggalkan  ekonomi 
politik media, sehingga 
sulit  dicari  persinggungan 
di antara  keduanya.  Sementara 
itu, pendekatan 
ekonomi–politik  menunjukkan  sikap 
keterbukaannya  untuk “mendekati”
studi kebudayaan yang ditunjukkan 
oleh  telaah  Mosco 
(1996) melalui integral epistemology-nya. Salah  satu 
yang  diungkapkannya  adalah bahwa 
ekonomi-politik  merupakan  salah satu entry point untuk mempelajari studi  kebijakan 
dan  studi  kebudayaan atau ekonomi politik media.
Sumber:
Weiss,
Shannon  dan  Karla 
Weley. (2001).  Postmodernism  and 
Its Critics. http://www.as.ua.edu-/ant/Faculty
C.   
Media
Sebagai Ruang Publik
Ruang
publik di media Indonesia mulai dapat dirasakan masyarakat pada akhir masa Orde
Baru. Hal ditandai dengan lahirnya masa Reformasi yang memberikan kebebasan
kepada publik sesuai UUD 1945. Pada masa Orde Baru, sistem komunikasi Indonesia
bersifat tertutup sehingga arus informasi bersifat satu arah (dari atas ke
bawah) dan tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan feed back. 
Setelah Orde Baru digantikan oleh Reformasi, sistem komunikasi beralih ke
sistem yang lebih terbuka sehingga publik mempunyai kebebasan untuk menyuarakan
pendapatnya tanpa takut pada ancaman pemerintah.
Media massa
sebagai pilar keempat dalam sistem negara juga mulai membuka kesempatan kepada
publik untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi publik melalui media. Sejak
itu, nuansa kebebasan berinformasi semakin dirasakan oleh publik untuk
berkontribusi dalam pembangunan negara melalui media.
Sulit
rasanya bagi media massa untuk menciptakan sebuah ruang publik yang benar-benar
berpihak pada kepentingan publik dan bebas dari bias kepentingan. Hal ini
dikarenakan media massa sangat bergantung pada para pemilik modal dan
kecenderungan pemilik modal kepada institusi atau golongan tertentu. 
Ruang
publik dalam media massa juga hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu.
Publik tidak mempunyai akses yang sama untuk dapat turut serta urun rembug
dalam diskusi publik. Dengan alasan keterbatasan space atau durasi, public
sphere yang diselenggarakan oleh media massa sering kurang maksimal karena
space-nya sudah dikavling oleh pengiklan atau program media itu sendiri
·        
Contoh
yang sering kita jumpai 
Banyak contoh yang
dapat ditemukan dikehidupan masyarakat. Di tahun 2009, muncul gerakan bertajuk
Dukungan Bagi Ibu Prita Mulyasari yaitu “Gerakan Koin Peduli Prita”, Surat Keluhan
Melalui Internet Yang Dipenjara, yang di dukung lebih dari 5900 anggota grup.
Ada pula gerakan bertajuk “Gerakan 1.000.000 Facebooker Dukung Chandra Hamzah
dan Bibit Samad Rianto”, yang menembus angka satu juta dukungan. Dan gerakan
sosial untuk membantu biaya operasi hati seorang balita yaitu “Gerakan Koin
Hati untuk Karen”. Di luar negeri, jatuhnya Presiden Tunisia Zine El Abidine
Ben Ali yang sudah berkuasa selama lebih dari 23 tahun dan Presiden Mesir Hosni
Mobarak yang memimpin negeri selama lebih dari 30 tahun disinyalir berawal dari
gerakan sosial melalui jejaring sosial, diantaranya Facebook.[1]
Sumber:
D.   
Industri
dan Kebijakan Media
Sejak
pemerintahan Soekarno hingga Soeharto, dan sekarang di bawah kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan media tak pernah dapat dipisahkan dari
rezim yang  berkuasa. Kebijakan media
memang selalu digunakan sebagai alat politik: pertama sebagai alat propaganda
(pada era Soekarno), lalu sebagai alat kontrol (terutama pada masa Soeharto),
dan sekarang digunakan untuk membangun citra pemerintah (pada periode
Yudhoyono).  Reformasi 1998 membawa
perubahan besar dalam lanskap media di Indonesia dan  menghadirkan sejumlah tantangan baru dalam
penetapan regulasinya. 
Perkembangan
sektor-sektor (dan industri) media tidak saja ditentukan oleh kemajuan
teknologi (misalnya inovasi teknologi media), namun, yang lebih penting juga
dipengaruhi oleh dinamika pasar (seperti terciptanya persediaan dan permintaan
dalam konten dan infrastruktur media), serta kepentingan politik (misalnya
kekuasaan). 
Dalam kasus
Indonesia, hal ini sangat jelas terlihat. Karena media merepresentasikan dan
merupakan perwujudan kekuasaan, kepemilikan media dan kebijakan media sangatlah
penting. Prinsip ‘mengikuti ke mana uang mengalir’ mampu mengungkapkan peranan
kepentingan bisnis dalam perkembangan media, dan bagaimana realpolitik mempengaruhi
perkembangan itu, dan semuanya terefleksi dalam kebijakan media di Indonesia.
Ekonomi politik berada dalam inti pemahaman mengenai kebijakan media di
Indonesia, sehingga perspektif inilah yang kami gunakan dalam penelitian ini.
Sumber:
http://kalamkata.org/ebook/indonesian/cipg-kebijakan-media.pdf
E.    
Trend
Industri Media
·        
Konglomerasi
Media
Tren ke arah konglomerasi melibatkan proses merger,
akuisisi dan pembelian saham (buyout) yang mengonsolidasikan kepemilikan media
ke semakin sedikit perusahaan. Perusahaan induk yang berkantong tebal masih
bisa menerima unit media yang kesulitan keuangan, seperti stasiun radio, dalam
periode tertentu, Tetapi suatu saat perusahaan induk ini ingin investasinya
menguntungkan dan karena itu mereka menekan unit media rado agar menghasilkaan
lebih banyak profit. Hal ini tidak akan terlalu buruk jika orang yang
menjalankan stasiun radio itu mencintai radio dan memiliki komitmen untuk
melayani publk. Tetapi proses konglomerasi jarang yang seperti itu. Perusahaan
induk cenderung mengganti orang-orang media dengan manajer lini yang berambisi
meniti karier, yang motivasnnya adalah tampil baik di mata atasannya di tempat
jauh yang sedang mendapat tekanan untuk meraup lebih banyak laba. Misalnya di
Radio, pakar manajemnlah bukan orang radio yang akhirnya menjalankan stasiun tu
dan mutu isi media itu akan turun.
            Konglomerasi media merupakan
kekuatan dari perusahaan yang berskala besar dalam meiliki banyak dan jenis
massa sebaga bagian bisnisnya. Tentu saja konglomerasi media ni sangat tidak
sehat dalam iklim demokrasi mengingat kekuatan media yang sangat berpengaruh
terhadap masyarakat yang mengkonsumsi informasi dari meda-media tersebut.
· Contoh Kasus konglomerasi media:
Pada
tahun 2006, arus berita mengenai kasus NCD (Negotiable Certificate of Deposit)
fiktif terkait Hary Tanoesoedibjo, demikian deras dibicarakan di lintas media,
baik cetak maupun elektronik, berkaitan dengan kemungkinan tindak pidana
korupsi yang bisa menimbulkan kerugian negara. Bila melihat pemberitaan media
massa nasional umumnya menempatkan pemilik MNC tersebut sebagai orang yang
jahat (pihak negatif). Tetapi pemberitaan di media-media yang dimilikinya
terlihat berlawanan dengan berita yang umumnya ada, diantaranya pemberitaan di
RCTI, Trijaya FM, dan Trust. Dalam pemberitaan di RCTI, kasus NCD fiktif Hary
Tanoe muncul secara khusus dalam Dialog Khusus pada tanggal 20 Februari 2006.
Dalam tayangan berjudul “kontroversi NCD Bodong” terlihat ada upaya pemberitaan
yang membela Hary Tanoe. Sementara dari pihak redaksi yang diwakili Arief
Suditomo mengatakan, “sebenarnya, penonton tidak tertarik pada isu ini, namun
saya tertantang untuk menampilkan acara ini. Banyak sekali produser yang tidak
mau menampilkan karena rating-nya turun”. Dari penyataan tersebut dapat kita
cermati bahwa para pelaku media (pekerja), redaksi melakukan pilihan yang cukup
berat. Bukan masalah terhadap rating atau tantangan untuk menampilkan acara
ini, tetapi lebih kepada bagaimana redaksi RCTI bekerja di bawah kekuasaan
pemilik media yang mau tidak mau harus dapat mengakomodasikan keinginan atau
permintaan sang pemilik.
Dalam pemberitaan di Trijaya FM, pembelaan yang dilakukan untuk membela pemiliknya ini tersaji dalam acara rutin diaolg interaktif Trijaya FM dalam acara Jakarta First Channel. Selanjutnya media Trust mengeluarkan dua buah artikel. Judulnya “Ini Tinggal Urusan Bayar atau Tidak Bayar” dan “Ada Apa dengan BI?” Sampul majalah berita ekonomi dan bisnis edisi 19 Tahun IV, 20-26 Februari 2006 ini berjudul “Kisah di Balik NCD Unibank”. Sementara dalam artikel online, Trust versi online mengeluarkan artikel berjudul “Mengikuti Jejak Lama Sukanto Tanoto, Aktor Utama Kasus NCD” pada tanggal 9 April 2006. Dari ketiga artikel itu terlihat sekali bahwa artikel tersebut berpihak kepada Hary Tanoe dan lebih mentikberatkan pihak negatif ke pihak yang lain. Dan muncul kesan mengalihkan fokus yang sangat menunjuk Hary Tanoesoedibjo. Dari semua pemberitaan tersebut memang secara jelas terlihat ada hubungan antar pemilik media, yaitu Hary Tanoe dengan media-medianya untuk menciptakan pemberitaan yang berpihak kepada Hary Tanoe. Selanjutnya apakah pemberitaan-pemberitaan tersebut dapat dikatakan monopoli dan mempengaruh pandanganpublik. .
Hal ini dapat dilihat dari media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa. Contohnya adalah sudah banyak kajian yang menyatakan bahwa Metro TV milik Surya Paloh lebih banyak memihak pada kekuatan politik tertentu saja, yaitu Partai Golkar, atau misalnya keberpihakan TVOne terhadap kepentingan politik dan ekonomi PT Lapindo, sehingga TVOne jarang mengungkit pemberitaan mengenai kasus Lumpur Sidoarjo dan apabila pemberitaan itu ada, TVOne cenderungan menggunakan kata Lumpur Sidoarjo ketimbang menggunakan kata Lumpur Lapindo. Hal itu menujukkan adanya kepentingan penguasa terhadap isi media. Penyebaran ideologi itu melalui proses hegemoni, yaitu suatu proses dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling-classvalues yang tanpa mereka sadari telah tertanamkan dalam diri mereka. Reese dan Shoemaker mengatakan bahwa kepemilikan media dapat mempengaruhi tayangan karena terjadinya perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja . Jadi kepemilikan media maka akan berakibat dengan berubahnya kebijakan dan tujuan media itu sendiri. Pemilik medialah yang akhirnya menentukan sifat dari media. Pemilik bebrapa media yang berbeda-beda jenisnya, seperti misalnya tidak hanya memiliki stasiun televisi saja, tetapi juga memiliki berbagai bentuk media massa mampu mempengaruhi khalayak lebih kuat dengan menggunakan berbagai media miliknya.Pengaruh konsentrasi ini begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Keberpihakan media terhadap kepentingan sejumlah elit penguasa itu secara tidak sadar mampu mempengaruhi kognisi khalayak. Padahal jika mengacu pada konsep Habermas, media massa merupakan public sphere yang seharusnya dijaga dari berbagai kepentingan.
Dalam pemberitaan di Trijaya FM, pembelaan yang dilakukan untuk membela pemiliknya ini tersaji dalam acara rutin diaolg interaktif Trijaya FM dalam acara Jakarta First Channel. Selanjutnya media Trust mengeluarkan dua buah artikel. Judulnya “Ini Tinggal Urusan Bayar atau Tidak Bayar” dan “Ada Apa dengan BI?” Sampul majalah berita ekonomi dan bisnis edisi 19 Tahun IV, 20-26 Februari 2006 ini berjudul “Kisah di Balik NCD Unibank”. Sementara dalam artikel online, Trust versi online mengeluarkan artikel berjudul “Mengikuti Jejak Lama Sukanto Tanoto, Aktor Utama Kasus NCD” pada tanggal 9 April 2006. Dari ketiga artikel itu terlihat sekali bahwa artikel tersebut berpihak kepada Hary Tanoe dan lebih mentikberatkan pihak negatif ke pihak yang lain. Dan muncul kesan mengalihkan fokus yang sangat menunjuk Hary Tanoesoedibjo. Dari semua pemberitaan tersebut memang secara jelas terlihat ada hubungan antar pemilik media, yaitu Hary Tanoe dengan media-medianya untuk menciptakan pemberitaan yang berpihak kepada Hary Tanoe. Selanjutnya apakah pemberitaan-pemberitaan tersebut dapat dikatakan monopoli dan mempengaruh pandanganpublik. .
Hal ini dapat dilihat dari media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa. Contohnya adalah sudah banyak kajian yang menyatakan bahwa Metro TV milik Surya Paloh lebih banyak memihak pada kekuatan politik tertentu saja, yaitu Partai Golkar, atau misalnya keberpihakan TVOne terhadap kepentingan politik dan ekonomi PT Lapindo, sehingga TVOne jarang mengungkit pemberitaan mengenai kasus Lumpur Sidoarjo dan apabila pemberitaan itu ada, TVOne cenderungan menggunakan kata Lumpur Sidoarjo ketimbang menggunakan kata Lumpur Lapindo. Hal itu menujukkan adanya kepentingan penguasa terhadap isi media. Penyebaran ideologi itu melalui proses hegemoni, yaitu suatu proses dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling-classvalues yang tanpa mereka sadari telah tertanamkan dalam diri mereka. Reese dan Shoemaker mengatakan bahwa kepemilikan media dapat mempengaruhi tayangan karena terjadinya perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja . Jadi kepemilikan media maka akan berakibat dengan berubahnya kebijakan dan tujuan media itu sendiri. Pemilik medialah yang akhirnya menentukan sifat dari media. Pemilik bebrapa media yang berbeda-beda jenisnya, seperti misalnya tidak hanya memiliki stasiun televisi saja, tetapi juga memiliki berbagai bentuk media massa mampu mempengaruhi khalayak lebih kuat dengan menggunakan berbagai media miliknya.Pengaruh konsentrasi ini begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Keberpihakan media terhadap kepentingan sejumlah elit penguasa itu secara tidak sadar mampu mempengaruhi kognisi khalayak. Padahal jika mengacu pada konsep Habermas, media massa merupakan public sphere yang seharusnya dijaga dari berbagai kepentingan.
Sumber:
F.    
Industri
Media Global
Perkembangan
dunia pertelivisian di Indonesia tersebut tidak lepas dari  perkembangan 
media  global.  Seperti 
yang  pernah  dibahas 
dalam perkuliahan  Komunikasi  Internasional,  bahwa 
perkembangan  media global  akan 
membawa  pengaruh  yang 
tidak  kecil  terhadap 
media nasional  suatu  negara. 
Hal  ini  tentu 
menjadi  sebuah  keniscayaan mengingat  media 
nasional  juga  merupakan 
bagian  dari  media 
global tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali kiblat
dari media  global  ini 
adalah  negara-negara  barat 
yang  menjadi  pencetus pengembangan teknologi informasi dan
komunikasi. 
Jika  media 
global  memiliki  nilai 
dan pengaruh dari negara barat yang dominan maka tak dapat  dihindari pula pengaruhnya terhadap pemirsanya.
Globalisasi media yang semakin memudahkan insersi nilainilai  pembuatnya 
–negara  barat-  menjadi 
fokus  dalam  makalah 
ini. 
Dengan  semakin 
mudahnya  nilai  tersebut 
untuk  masuk kedalam masyarakat dunia  termasuk 
masyarakat  lokal  di  Indonesia, 
maka pengaruhnya akan pula dirasakan oleh mereka. Padahal, nilai-nilai
dan ide  merupakan  suatu 
yang  vital  dalam 
pembentukan  identitas suatu 
masyarakat. Dengan masuknya nilai-nilai barat maka identitas lokal
pun  pasti  akan 
terpengaruh.  Pengaruh  tersebut 
antara  lain  adalah identifikasi  diri 
mereka  menjadi  bagian 
dari  masyarakat  dunia 
seperti yang pernah diungkapkan oleh Mc.Luhan melalui Global Village-nya 
Dalam  tulisannya 
yang  membahas  mengenai 
hiperglobalisasi,  Ritzer
pernah  menegaskan  bahwa 
pola-pola  kehidupan  sosial 
dan  kultural sehari-hari  masyarakat 
sekarang  memperlihatkan  adanya 
pengaruh yang  amat kuat dari pola  kehidupan 
masyarakat  global  dan 
budaya global  (Piliang  n.d.). 
Menurutnya pengaruh tersebut datang melalui berbagai 
teknologi,  termasuk  teknologi 
televisi  beserta  produknya (tontonan, hiburan, 
dan  semacamnya). Melalui 
pintu  inilah budaya global 
melancarkan  ”gelombang  serangan” 
terhadap  masyarakat etnis dan kultur tertentu(Piliang n.d.).
Hal-hal inilah yang menjadi ancaman bagi 
eksistensi  beragam bentuk kebiasaan, nilai, identitas 
dari  budaya lokal.
Sebagai  masyarakat yang  telah memiliki  identitas 
sendiri  dengan  nilainilai 
tersendiri,  tentunya  hal 
di  atas  dapat 
dikatakan  sebagai  masalah. Karena dengan semakin masuknya nilai
asing melalui globalisasi media, mau 
tidak  mau  akan 
pula  meminggirkan  nilai 
lokal  hingga  merubah identitas  asli 
lokal.  Sebut  saja 
penggunaan  bahasa  Inggris 
sebagai bahasa yang dianggap moderen, dan lain sebagainya.
Menghadapi  kenyataan 
di  atas  maka 
muncullah  bentuk-bentuk  siaran regional. Salah satu yang telah
menggejala adalah munculnya stasiun TV lokal 
seperti  JTV,  Bali 
TV,  dan  lain-lain. 
Seiring  dengan  hadirnya perspektif  teori 
baru  dalam  media 
dan  masyarakat,  maka 
komunikasi tidak  lagi  masif 
dan  berjalan  searah. 
Menurut  perspektif  postmodern akan  selalu 
ada  jalan  lain 
untuk  keluar  dari 
masifikasi  dan  sentralisasi masyarakat (Mc.Quail 2000).
G.   
Femomena
Media Baru
Perkembangan media baru yang juga
merangkumi teknologi maklumat dan komunikasi (ICT) dalam era globalisasi dunia
hari ini yang membawa pelbagai cabaran baru dalam bidang pendidikan. penggunaan
media baru terutamanya pada masa kini telah meningkat dengan ketara dan
fenomena ini boleh dilihat dari segi penambahan jumlah pengguna di seluruh
dunia.  Pendekatan Digital Humanities yang mengabungkan aspek teknikal
(ICT) dengan displin kemanusian termasuk Sejarah, menggunakan teknologi
pendigitan dalam bidang pengajaran dan pembelajaran, penyelidikan dan
penerbitan. Penggunaan teknologi pendigitalan melalui laman web dan rangkaian
sosial popular seperti Facebook, Twitter, blogspot dan Pinterest mampu
menyalurkan maklumat sejarah secara lebih interaktif, pantas dan menarik.
Disamping itu maklumat mudah dicapai serta mempunyai ruang yang lebih fleksibel
dapat meningkatkan usaha penyediaan dan penggunaan bahan bukti.
 
Media baru pula ditakrifkan sebagai 'teknologi informasi tanpa sempadan'. Media baru bermaksud cara mengajar baru yang menggunakan media jaringan komputer dan internet. Media baru adalah istilah yang dimaksudkan untuk menerangkan kemunculan digital, komputer atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Sebahagian besar teknologi yang digambarkan sebagai 'media baru' adalah digital, bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Media baru juga lebih dikenali sebagai 'teknologi informasi tanpa sempadan'. Media baru kini sedang membina empayarnya tersendiri dan berkeupayaan tinggi menandingi media cetak serta media elektronik yang lain. inilah revolusi media di era langit terbuka atau lebih dikenali globalisai. Media baru yang kian meluas dan sedang menakluki dunia dengan informasi tanpa sempadan kini berkemampuan membentuk minda masyarakat.
Media baru pula ditakrifkan sebagai 'teknologi informasi tanpa sempadan'. Media baru bermaksud cara mengajar baru yang menggunakan media jaringan komputer dan internet. Media baru adalah istilah yang dimaksudkan untuk menerangkan kemunculan digital, komputer atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Sebahagian besar teknologi yang digambarkan sebagai 'media baru' adalah digital, bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Media baru juga lebih dikenali sebagai 'teknologi informasi tanpa sempadan'. Media baru kini sedang membina empayarnya tersendiri dan berkeupayaan tinggi menandingi media cetak serta media elektronik yang lain. inilah revolusi media di era langit terbuka atau lebih dikenali globalisai. Media baru yang kian meluas dan sedang menakluki dunia dengan informasi tanpa sempadan kini berkemampuan membentuk minda masyarakat.
Kemunculan media baru memberi impak yang besar terhadap kehidupan manusia. Media baru secara langsung telah mengubah pola kehidupan masyarakat, budaya, cara berfikir dan hampir segala aspek dalam kehidupan manusia. Perkembangan media ini mendapat tanggapan yang pelbagai, ada yang positif dan ada yang negatif. Media baru adalah media yang memiliki 3 sifat utama iaitu integrasi, interaktif dan digital.
·        
Contoh Kasus:
pemilihan Kepala Daerah DKI beberapa tahun lalu. Banyak
teknologi media baru yang ikut mengkonstruksi realitas yang terjadi di
masyarakat, entah dengan tujuan mengangkat salah satu calon ataupun sebaliknya.
menjatuhkancalonlain.   
Banyak akun Twitter dari para calon DKI 1 atau akun Twitter
pendukung salah satu kandidat khusus dibuat untuk memoles citra kandidatnya.
Tweet yang diterbitkan tersebut sengaja mengkonstruksi bahwa calon yang
didukung merakyat, mempunyai visi yang jelas, bertanggung jawab, dan layak
dipilih.
Sumber:
http://komunikasi.us/index.php/course/18-teknologi-dan-media-baru/3621-konstruksi-sosial-teknologi-di-dalam-penggunaan-media-baru
 
The Wizard of Oz Casino Site Review, Bonuses, Banking
BalasHapusRead a complete The Wizard of Oz Casino review, including luckyclub.live casino games, bonuses and offers. Find the top online casinos that are on the Rating: 5 · Review by LuckyClub.live